Minggu, 18 Agustus 2013

Perceraian di Indonesia masih sangat tinggi

Perceraian

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan angka perceraian hingga saat ini masih tetap tinggi, dan hal itu berpotensi menjadi sumber masalah sosial.

Korban pertama yang paling merasakan adalah anak-anak dan isteri yang seharusnya mendapat pengayoman dan perlindungan dari perkawinan, kata Nasaruddin dalam teks pidatonya saat pembukaan pemilihan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pelimihan Keluarga Sakinah Teladan 2013 di Jakarta, Jumat (16/8) malam.
Menurut Peradilan Agama (PA), jumlah perkara secara nasional pada 2010 mencapai 314.354 tingkat pertama. Bidang perceraian mencapai 284.379, dari jumlah tersebut cerai gugat mendominasi mencapai 190.280. Angka tersebut lebih menonjol dibanding cerai talak yang mencapai 94.009.

Fakta, kata dia, perselisihan sulit diselesaikan secara domistik oleh internal keluarga akibat ketidakmampuannya bersikap netral.

Dan, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu meningkatnya intensitas perselisihan, bahkan display drama pertengkaran suami-isteri tersebut acap kali disaksikan secara langsung oleh anak-anak.

Ironisnya lagi, disadari atau tidak, media turut memberi andil dalam pelemahan institusi perkawinan. Demi mengejar rating, media secara provokatif membongkar dan mem-blow up persoalan rumah tangga para public figure.
Fenomena yang tak sehat itu, lambat laun menggeser norma dan cara pandang masyarakat terhadap institusi perkawinan ke arah negatif.
Masyarakat, lanjut dia, tidak lagi memandang perkawinan sebagai suatu lembaga yang seharusnya dipertahankan keutuhannya. Pertengkaran kecil suami-isteri bukan lagi bagai bumbu dan bunga perkawinan yang dapat menambah instensitas kemesraan manakala berbaikan kembali.

Pertengkaran sekali pun disebabkan oleh masalah remeh dapat menjelma menjadi percekcokan hebat. Di beberapa kasus menjadi entry point untuk menjustifikasi perselingkuhan, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.

Dan pesan moral yang keprucut (hidden curriculum) dari drama ini adalah, perceraian bukan peristiwa aib keluarga, tapi memang seharusnya terjadi, sebagai suatu solusi yang sah dan wajar menurut logika umum untuk pemecahan masalah rumah tangga.

Untuk mengurangi dampak tersebut, Wakil Menteri Agama menyatakan, perlu antisipasi cermat. Upaya pembekalan kepada remaja usia nikah harus diberikan secara arif dan bijak.

Salah satu akar penyebab perceraian terbesar adalah rendahnya pengetahuan dan kemampuan suami isteri mengelola dan mengatasi berbagai permasalahan rumah tangga. Hampir 80 persen dari jumlah kasus perceraian, terjadi pada perkawinan di bawah usia 5 tahun.

Ketidakmampuan pasangan suami isteri menghadapi kenyataan hidup yang sesungguhnya, mengakibatkan mereka kerap menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian atas pelbagai permasalahan di usia perkawinan yang masih balita.
Pemilihan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan 2013 di Jakarta, diikuti KUA seluruh Indonesia, berlangsung mulai 15 hingga 21 Agustus.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/08/17/mrnkhr-wamenag-angka-perceraian-masih-tinggi